DULU dia saudagar kaya, saat perusahaan batiknya jaya. Perjuangannya pun dihormati pemerintah. Bintang jasa Mahaputra diterimanya. Predikat pahlawan nasional disandangnya lewat Keppres 590/1961. Namun H Samanhudi, tokoh pergerakan Syarikat Dagang Islam yang kemudian berganti nama menjadi Syarikat Islam (SI) itu, pada awal abad 20 tak banyak memberi tinggalan fisik masa-masa perjuangannya kepada anak cucunya.
Di sebuah rumah pemberian pemerintah pada era Presiden Soekarno yang berdiri di wilayah RT 1 RW 4 Kelurahan Pajang, Laweyan, Solo, hanya ada beberapa foto Samanhudi yang terpajang.
“Memang, Eyang tak banyak memberikan tinggalan kepada kami. Hartanya habis untuk membiayai perjuangan melawan Belanda pada masa pergerakan,” kata Drs M Hudi Setyawan, salah seorang cucu Samanhudi.
Dia adalah cucu dari anak terakhir sang Pahlawan, almarhumah Siti Warsinah. Rumah pemberian itu, kini dia tempati bersama istrinya, Ida Susanti, dan lima anaknya.
Bangunan berukuran sekitar 300 meter persegi pada lahan seluas kurang lebih 600 meter persegi itu, dulu disebut masyarakat sekitar sebagai pesanggrahan. Letaknya berimpitan dengan SD Negeri Sentono.
Pada dinding depan, tertempel semacam prasasti berlambang kepresidenan RI. Lalu tercantum tulisan ejaan lama: “Kami Bangsa Indonesia sadar, bahwa para pahlawan telah menjumbangkan bagiannja jang njata pada tertjapainja Kemerdekaan Nusa dan Bangsa. Maka atas djasa para pahlawan itu, Bangsa Indonesia dengan penuh chidmat dan hormat mempersembahkan suatu bangunan sebagai tanda terima kasih dan penghargaan jang setinggi-tingginja.” Pada bagian akhir tertulis “Djakarta, 17 Agustus 1962, atas nama Bangsa Indonesia, Pemimpin Besar Revolusi, tertanda Soekarno.”
Menurut Iwan -sapaan Hudi Setyawan-, foto-foto yang tersimpan di rumah yang ditempatinya sejak peresmian itu juga sangat sedikit. Lainnya tersebar di rumah cucu-cucu lain H Samanhudi. Karena itu, dia berencana untuk merepro semua foto yang ada sebagai dokumentasi.
“Sejak diresmikan, saya tidak berani mengubah apa pun bangunan fisik rumah ini. Sebab, bagaimana pun rumah ini merupakan bagian dari hasil perjuangan Eyang Samanhudi,” tutur Kasubdin Perdagangan pada Dinas Perindag dan Penanaman Modal Surakarta itu.
Kali Pertama
Ditanya soal acara-acara kunjungan resmi ke rumah tersebut, dia mengaku tidak pernah ada. Maka dia dan sejumlah cucu lain tokoh pergerakan kebangkitan nasional, sangat senang dan membuka diri, ketika 200-an siswa beberapa SMA di Solo melakukan kunjungan dalam rangkaian Peringatan Hari Kebangkitan Nasional, Sabtu (20/5).
“Ini kali pertama kami mendapat kunjungan,” tuturnya.
Safari siswa yang diselenggarakan Yayasan Warna-Warni Indonesia pimpinan Krisnina Akbar Tandjung itu, sebelumnya juga menengok makam Samanhudi di Astana Banaran, Grogol, Su-koharjo, yang berjarak sekitar 300 meter dari rumah keluarganya.
“Rumah ini merupakan pemberian pemerintah atas jasa-jasa perjuangan H Samanhudi. Bapak-bapak dan ibu-ibu yang ada di sini adalah cucu-cucunya,” jelas Krisnina kepada rombongan siswa itu.
Cucu lain, Hj Sri Hartati atau dikenal sebagai Tatik Ma’soem menyatakan bangga mendapat kunjungan seperti itu.
“Sebagai perintis SI pada perjuangan pergerakan, Eyang berpesan untuk meneruskan perjuangan. Di antaranya mengembangkan batik Laweyan, sebab batik di sini lebih bagus daripada batik dari negara-negara lain,” ungkapnya kepada para siswa.
Iwan pun lalu memberi uraian singkat mengenai Samanhudi yang lahir di Sondakan, Laweyan, Solo pada 1878 dengan nama kecil Sudarno Nadi. Sang pahlawan wafat di rumah anak keduanya, Soekamto Samanhudi, di daerah Klaten pada 28 Desember 1956.
Jadi, Samanhudi justru belum pernah tinggal di rumah pemberian pemerintah itu karena baru diresmikan pada 1962.
Sumber: http://www.suaramerdeka.com/harian/0605/23/nas16.htm (Selasa, 23 Mei 2006)