DALAM desakan kebutuhan mencari oase di tengah hari-hari yang penat, kereta makin diminati sebagai pengantar warga Jakarta berwisata. Cirebon, Tegal, Pekalongan, Purwokerto, dan kawasan sekitarnya menjadi pilihan wisata yang menawarkan kegembiraan sederhana, nostalgia, dan reflektif.
Hari mulai sore ketika kami tiba di Kebun Teh Pagilaran, Batang, Jawa Tengah. Rumpun tanaman teh dalam teras-teras di lereng perbukitan membentang berbatas kaki langit. Pemandangan, juga semilir angin segar, mengusir rasa penat setelah menempuh lima jam perjalanan dari Stasiun Gambir, Jakarta, disambung dua jam perjalanan bus melintasi pegunungan.
Kebun teh peninggalan Belanda yang dibeli Inggris sebelum Indonesia merdeka itu, sampai saat ini, masih beroperasi dan terawat baik. Belum puas menyusuri setapak kebun, kabut mulai turun, malam akan segera tiba. Rombongan peserta tur Yayasan Warna-Warni Indonesia bergegas menuju rumah bekas administrator kebun. Santap malam disajikan di halaman rumah bergaya kolonial itu, menghadap pemandangan perbukitan yang dirayapi temaram.
Opak panggang, sayur bobor lembayung, buntil daun singkong, ikan asin, ayam panggang, dan sambal jadi sajian sempurna di tengah kesejukan kebun teh. Minumannya tentu teh panas. Secangkir teh panas yang dihirup pelan-pelan di kebun teh alirkan kehangatan ke tubuh yang dibungkus hawa dingin.
Aroma wangi sedap yang diwadahi secangkir teh itu menelusup perlahan, mungkin karena aromanya dibawa udara yang sama, yang juga menyentuhi pucuk-pucuk dedaunan teh.
Setelah secangkir teh, ada jejak rasa legit yang seperti menggelitik lidah, menggoda untuk mengisi lagi, mengisi lagi cangkir teh yang cepat tandas itu. Mumpung di kebun teh!
”Banyak di antara kita yang sudah sering ke luar negeri. Ketemu kafe yang menyuguhkan 300 macam teh di sana. Padahal, negeri itu tidak punya kebun teh. Indonesia punya banyak kebun teh, tetapi kita bisa apa dengan itu,” ujar Nina Akbar Tandjung, Ketua Umum Yayasan Warna-Warni Indonesia.
Kepala Kebun Tentrem Raharjo mengatakan, produk teh dari kebun ini seluruhnya diekspor, sebagian besar ke Amerika Serikat. Indonesia memang negeri dengan alam amat kaya. Masalahnya, selalu sama: bagaimana kekayaan itu diolah di negeri sendiri dan dikemas untuk memikat minat bangsa sendiri.
Tak afdal rasanya mengunjungi kebun teh tanpa menikmati pagi dengan menyusuri kebun. Namun, agenda tur ini cukup padat. Begitu malam turun, rombongan pun kembali masuk ke bus membawa keinginan untuk suatu hari kembali ke sana.
Batik
Perjalanan rombongan ibu-ibu dari Jakarta merupakan upaya untuk lebih mengenal realitas di negeri sendiri. Hari itu mereka sibuk menyusuri Pasar Grosir Batik Setono, Pusat Belanja International Batik Center, dan Galeri Dian Pelangi. Mereka belanja batik dan jumputan. Pekalongan dikenal dengan batik pesisiran berciri unik karena paduan pengaruh China dan Belanda.
Itulah tren masyarakat urban: blusukan ke tempat-tempat yang selama ini tidak dilirik sebagai daerah pelesiran. Dan nyatanya, banyak wilayah yang menyimpan potensi untuk dijelajahi. Untuk batik, misalnya, bukan hanya Pekalongan yang punya batik.
Ciwaringin, sentra batik di Cirebon, kini juga menggeliat, menyedot banyak pengunjung berbelanja ke sana. Sementara di Purwokerto, ada sentra batik Sokaraja. Batik Banyumas yang berkembang dari Sokaraja dikenal dengan motif flora dan fauna dalam warna-warna yang tegas. Sementara batik Cirebon dianggap lebih berkesan kalem.
Pihak Hotel Santika Cirebon jeli menangkap tren tersebut. Mereka menggelar family trip pada 24-26 Oktober lalu. Sama dengan langkah yang dilakukan Yayasan Warna-Warni Indonesia, Santika mengajak peserta menikmati perjalanan dengan kereta api dari Jakarta ke Cirebon dan Purwokerto.
Keraton Kasepuhan
Di Cirebon, Keraton Kasepuhan menjadi tujuan pertama berwisata. Imajinasi sejenak terlempar ke masa lalu ketika mengamati Kereta Singa Barong koleksi keraton. Kereta buatan tahun 1549 itu masih kokoh dan gagah. ”Coba lihat, kereta ini sebenarnya sudah punya suspensi walau istilah suspensi belum dikenal. Hebat kan,” kata Usman, pemandu wisata yang mengantar peserta berkeliling.
Sumur Bandung menjadi salah satu pesona saat berkunjung ke keraton itu. Kata Usman, sumur yang sudah berumur enam abad ini tak pernah kering airnya. Pengunjung bebas membasuh muka dan tangan, bahkan meminum langsung air sumur yang juga disebut juga sebagai Sumur Agung ini. Rasanya, segar.
Nopia
Di Purwokerto, sekitar 2,5 jam perjalanan kereta dari Cirebon, rombongan menuju sentra kue nopia di Jalan Pekaja. Nopia adalah kue khas di Purwokerto. Dulu, kue ini ramai ditawarkan pedagang di Stasiun Purwokerto.
”Nopia, nopia, nopia!” begitu para pengasong dulu menawarkan di antara jendela-jendela kereta. Kali ini, peserta perjalanan bisa mencomot langsung nopia yang baru saja matang. Sungguh hal itu memberi sensasi berbeda. Sensasi itu menguat karena proses memasaknya pun bisa dilihat di sana.
Adonan tepung terigu dimatangkan ke dalam tungku atau oven tanah liat, lalu ditempel-tempelkan ke dinding tungku bersuhu 45 derajat celsius itu selama sekitar 15 menit. Jika adonan tidak pas, nopia tak akan melekat kuat ke dinding tungku, jatuh dan pecah.
Nopia memang salah satu kudapan khas Banyumas. Di Pekaja, nopia paling laris adalah berisi gula jawa (gula kelapa) dan cokelat. Meski begitu, nopia rasa durian, pandan, bahkan rasa bawang merah pun ada.
Kunjungan ke Purwokerto tak akan afdal apabila melewatkan Baturaden di lereng Gunung Slamet. Tempat wisata ini dikenal dengan cerita legenda Lutung Kasarung dan kisah cinta antara Batur dan Raden (pembantu dan bangsawan). Selain wanawisata, Baturaden juga punya sumber air panas dan telaga. Hanya perlu waktu satu jam perjalanan dengan bus dari pusat kota Purwokerto ke kawasan sejuk ini.
Perjalanan menyusuri kota-kota di sepanjang jalur yang dilalui kereta itu seperti membaca sejarah lewat jejak-jejak yang tersisa. Nina Akbar meyakini hal ini sebagai bagian dari perjalanan mengenal bangsa sendiri. Dari situ akan tumbuh pemahaman, rasa bangga, kebanggaan, dan diharapkan akan tumbuh semangat memelihara kekayaan warisan budaya. (Nur Hidayati dan Lukas Adi Prasetya)
Sumber: http://lipsus.kompas.com/jalanjalan2013/read/2013/12/10/1811404/Menengok.Keindahan.Tetangga-1 (10 Desember 2013)