Judul: Jejak Gula, Warisan Industri Gula di Jawa
Penulis: Krisnina Maharani Akbar Tandjung
Tahun Terbit: April 2010
Penerbit: Yayasan Warna Warni Indonesia
Tebal: 216 halaman
Review : Menelusuri Gula di Tanah Jawa
TEMPO Interaktif, Jakarta – Gula. Bahan pemanis itu bukan sekadar bahan baku makanan dan minuman yang teronggok di dapur. Di tangan Krisnina Maharani Akbar Tanjung, gula menjadi jejak sejarah bangsa Indonesia.
Bagi Nina–begitu ia biasa disapa–sejarah adalah pembelajaran. Sejarah bukan sekadar cerita tentang pahlawan, tapi juga buku besar yang menarik untuk disampaikan. Maka Nina menelusuri jejak gula di Nusantara karena yakin di dalamnya tergambar fenomena peradaban masyarakat zaman itu.
Masyarakat Indonesia tidak mengenal gula sebelum bangsa Cina datang ke Nusantara. Pada abad ke-15, warga Tionghoa mengajari masyarakat Jawa mengolah tebu menjadi gula secara tradisional. Cara tradisional itu masih bisa ditemui di kawasan Sumatera Barat.
Pembuatan gula dari tebu tradisional menggunakan alat penggiling yang terdiri atas dua buah silinder batu atau kayu yang diletakkan berhimpitan. Di bawah silinder diletakkan kuali besar. Tonggak dipasangkan pada silinder. Untuk memutar silinder, tonggak didorong, biasanya menggunakan tenaga manusia atau hewan ternak, kadang juga digunakan kincir air sungai. Tebu dimasukkan ke rongga di antara dua silinder. Hasilnya adalah cairan nira, yang ditampung pada kuali. Nira inilah yang diolah menjadi gula.
Perdagangan gula oleh warga Tionghoa menarik perhatian persekutuan dagang dari Belanda, Vereeningde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang dikenal dengan sebutan Kompeni, yang berlabuh di Banten pada 1596.
VOC menilai Banten kurang strategis dan aman. Gubernur Jenderal Kompeni Pieter Booth memindahkan markas dagangnya ke Jayakarta atau Jakarta. Daerah inilah yang selanjutnya diberi nama Batavia, sesuai dengan nama etnik asli Belanda, Bataaf.
Batavia makin ramai dan menjadi bandar besar di Asia Tenggara. Akibatnya, makin banyak warga Tionghoa yang bermigrasi ke Jawa. Warga yang baru datang ini meniru bisnis rekannya, salah satunya gula.
Maraknya perdagangan gula membuat VOC mengekspor komoditas ini ke Eropa. Awalnya, tujuan utama VOC hanya berdagang rempah-rempah. Pada 1637, VOC berhasil mengekspor 10 ribu pikul atau setara dengan 625 ribu kilogram gula per tahun. Gula ini dibeli dari warga Tionghoa.
Makin lama VOC makin kalap, yaitu ingin mengendalikan harga gula. Akibatnya, warga Tionghoa ogah memproduksi gula sehingga perdagangannya bertambah lesu. Pada 1799, VOC dinyatakan bangkrut oleh Kerajaan Belanda karena praktek korupsi yang subur. Kerajaan Belanda membentuk pemerintahan Hindia-Belanda menggantikan VOC.
Kendala pertama pemerintah Hindia-Belanda adalah perang Diponegoro. Meski menang, pemerintah Belanda tekor. Untuk mengisi kas negara yang defisit, Gubernur Jenderal Johanes van den Bosch mengeluarkan kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel.
Bosch juga mengganti tanaman padi dan palawija dengan tebu. Hasilnya luar biasa. Dalam tempo 10 tahun, volume ekspor gula meningkat dari 6.710 ton pada 1830 menjadi 61.750 ton pada 1840. Tiga puluh tahun kemudian, jumlah ekspor gula meningkat lebih dari 100 persen menjadi 146.670 ton. Selain tanam paksa, keberhasilan ini didukung oleh mesin penggiling tebu dan pembangunan infrastruktur perdagangan gula milik perusahaan dagang dari Belanda, Nederlandsche Handel Maatchappij.
Kebijakan ini meliberalisasi perdagangan, termasuk industri gula. Mulai 1870, industri gula boleh dijalankan oleh swasta. Dua perusahaan swasta terbesar kala itu adalah Oei Tiong Ham Concern di Semarang dan milik Kanjeng Gusti Adipati Aryo Mangkunegara IV di Surakarta. Lantaran liberalisasi, Hindia-Belanda tercatat sebagai eksportir gula kedua setelah Kuba.
Industri gula bukan tanpa hambatan. Adanya serangan penyakit membuat pemerintah membangun lembaga riset gula bernama Proefstation Oost Java, yang kini dikenal dengan nama Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, di Pasuruan Jawa Timur. Lembaga ini menjadi pusat penelitian gula terkemuka di dunia. Adanya lembaga ini membuat Pasuruan dikenal sebagai Kota Gula.
Pasuruan merupakan salah satu kota yang berada dalam kawasan perkebunan andalan Belanda. Mereka menyebut kawasan ini dengan nama Oosthoek, yang meliputi Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Besuki (Jember ditambah Bondowoso), Lumajang, dan Banyuwangi. Di kawasan ini banyak terdapat pabrik gula.
Saat Inggris menduduki Jawa pada 1811-1815, modernisasi industri gula dilakukan di tanah Jawa. Pemerintah Inggris mengundang pengusaha gula Inggris di India untuk berinvestasi di Jawa. Tapi, sayang, modernisasi itu gagal kecuali di kawasan Oosthoek.
Berdirinya pabrik-pabrik gula di kawasan Oosthoek diikuti oleh bangunan-bangunan mewah kala itu, di antaranya rumah pejabat pabrik dan perkantoran. Nina berhasil mengumpulkan foto-foto bangunan itu dari beragam sudut. Gambar-gambar tersebut seolah membawa pesan betapa ramai dan bergairahnya geliat ekonomi di kawasan itu.
Nina mengupas asal-muasal industri gula, tapi dia hanya mengunggah gambar-gambar di kawasan industri gula Jawa Timur. Buku ini mengutamakan gambar dibanding tulisan. Dan memang itu tujuan penulis. Namun bukan berarti buku ini sepi informasi. Nina tetap menuliskan sejarah di balik kemegahan dan keindahan bangunan-bangunan bergaya arsitektur Eropa itu.
AKBAR TRI KURNIAWAN
Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2010/05/17/109248306/Menelusuri-Gula-di-Tanah-Jawa (Senin, 17 Mei 2010)
Comments are closed.
Tulisan yang sangat bermakna akan arti penting nya gula, dan juga begitu besar dampaknya untuk sebuah kekuatan…gula hal yang kecil namum berbepengaruh kuat dlm stabilitas pangan bangsa…sampai sekarangpun managemen gula di Indonesia masih tumpang tindih…dan harga gula pun termasuk yang termahal di banding di negara tetangga.