Dua ratusan siswa dari berbagai SMA di Solo mengikuti sarasehan ”Samanhudi, Laweyan dan Kebangkitan Nasional” di RM Roemahkoe, Sabtu (20/5). Selain berdiskusi, mereka juga ziarah ke makam KH Samanhudi dan berkunjung ke rumahnya di kawasan Pajang, Laweyan, Solo. Siapa Samanhudi, bagaimana perjuangannya, dan kondisi keluarganya? Berikut laporannya.
PERINGATAN Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei, bisa dirunut dari berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Namun sejarawan UNS Solo Sudarmono SU berpendapat, sebenarnya kebangkitan pergerakan nasional melawan penjajah Belanda dimulai Syarikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan KH Samanhudi tahun 1911 (beberapa versi lain menyebut tahun 1905, tahun 1906, tahun 1909, atau tahun 1912).
“Pada masa SDI yang selanjutnya berubah nama menjadi Syarikat Islam (SI), pegerakan perjuangan benar-benar dilakukan massa akar rumput dan para saudagar batik, terutama dari Laweyan,” kata dia di hadapan dua ratusan siswa pada sarasehan yang digelar Yayasan Warna-Warni Indonesia (WWI) pimpinan Krisnina Akbar Tandjung, Sabtu (20/5).
Pada masa itu, penjajah Belanda melarang segala bentuk organisasi politik di masyarakat. Organisasi sosial pun ditekan. Yang diperbolehkan hanya wilayah budaya.
Namun Samanhudi dengan SI-nya, melakukan gerakan diam-diam. Ada kode-kode tertentu untuk menjalankan perjuangannya demi mengelabui Belanda.
“Dulu, sepanjang Jl Slamet Riyadi diteduhi pohon asam. Di bawahnya berderet tukang-tukang cukur. Nah, tempat cukur itulah yang dimanfaatkan untuk menyebarkan undangan. Kalau undangan warna merah berarti akan rapat akbar, kalau hijau rapat khusus pengurus, dan lainnya, tanpa diketahui kolonial,” ungkapnya.
Kekuatan ekonomi yang besar itu kemudian dipandang membahayakan pemerintahan kolonial sehingga kemudian dilakukan politik penggembosan SI. Yakni, membawa semangat nasionalisme Sun Yat Sen ke isu lokal. Kalau gerakan Sun Yat Sen bisa memerdekakan China, maka nasionalisme China akan menguasai dunia. Golongan China saat itu menjadi warga kelas dua setelah Belanda, dan di atas pribumi.
Lidah Membelit Dunia
Dosen sejarah dari UGM Nursyam SS mengisahkan, Samanhudi lahir tahun 1878 di Sondakan, Laweyan. Ayahnya seorang pengusaha batik bernama H Ahmad Zein. Pada umur 20 tahun, dia berganti nama menjadi Wirjowikoro.
Usaha batiknya berkembang bagus dengan ratusan pegawai. Keuntungannya rata-rata 800 gulden per hari. Sebagai perbandingan, waktu itu gaji seorang bupati 1.000 gulden per bulan. Tahun 1904, Wirjowikoro atau Samanhudi menjalankan ibadah haji.
“Di Tanah Suci, suatu malam dia bermimpi seolah-olah lidahnya sangat panjang dan kemudian melilit dunia. Dia menanyakan kepada ahli tafsir mimpi dan mendapat jawaban, dia akan jadi pemimpin besar di negerinya,” ungkapnya.
Sumber: http://www.suaramerdeka.com/harian/0605/22/nas13.htm (Senin, 22 Mei 2006)